Audit intern yang selalu menggaungkan dirinya sebagai pemberi masukan yang bernilai tambah bagi organisasi haruslah didukung dengan sumber daya auditor yang mumpuni. Tanpa auditor yang hebat, gaung tersebut hanya akan berhenti sebatas jargon semata. Karena itu, banyak organisasi audit intern yang menginvestasikan dana besar untuk meningkatkan kapabilitas auditornya agar menguasai dengan baik teknis operasi atau proses bisnis organisasi. Namun nyatanya, untuk menjadi auditor yang mumpuni, penguasaan teknis operasi organisasi saja tidaklah cukup.
Dalam praktik, tidak sedikit auditor yang terjebak berhenti pada pengungkapan daftar kelemahan teknis operasi kegiatan tertentu tanpa menawarkan terobosan solusi yang menginspirasi jajaran manajemen organisasi. Bahkan, kadang kala jajaran manajemen sudah bisa menebak daftar masalah yang akan mereka terima dari auditor karena tanpa diaudit pun sebenarnya mereka juga sudah tahu masalah itu. Hanya saja, jajaran manajemen memang belum menemukan solusinya yang tepat. Apakah kondisi demikian terjadi lantaran auditornya tak paham teknis operasi organisasi? Sepertinya tidak! Para auditor umumnya sangat paham teknis operasi dan proses bisnis yang mereka audit. Apalagi sarana belajar pengetahuan teknis semacam itu kini kian terbuka lebar lewat dunia internet. Lantas apa yang masih kurang? Dari judul tulisan ini, pasti Anda sudah bisa menebaknya, bukan? Untuk lebih jelasnya, mari kita simak ulasan berikut!
Survei yang dilakukan oleh The Institute of Internal Auditors (IIA) Global pada tahun 2015 mengungkap fakta menarik tentang kompetensi/keahlian yang semestinya dimiliki oleh para auditor intern. Salah satu pertanyaan survei itu bertujuan untuk mengetahui keahlian apa saja yang menjadi preferensi utama para pimpinan eksekutif audit intern (CAE) saat merekrut personil atau membangun unit audit mereka. Para pimpinan eksekutif audit intern yang menjadi responden diminta untuk memilih lima keahlian penting yang paling mereka inginkan. Sebanyak 3.304 responden dari berbagai belahan dunia turut berpartisipasi menjawab pertanyaan itu.
Ulasan jawaban pertanyaan tersebut diterbitkan IIA pada tahun 2016 dalam sebuah laporan berjudul The Top 7 Skills CAEs Want. Menurut laporan tersebut, dua urutan teratas keahlian yang banyak dipilih responden adalah kemampuan berpikir kritis/analitis atau analytical/critical thinking (dipilih oleh 65% responden) dan kemampuan berkomunikasi (dipilih oleh 51% responden). Urutan dua teratas ini rupanya konsisten dengan hasil survei serupa yang dilakukan IIA Global pada tahun 2013 dan 2012. Kenapa dua keahlian itu penting? Dalam penjelasannya, laporan IIA tahun 2016 menyatakan bahwa kemampuan berpikir kritis/analitis dan berkomunikasi merupakan keahlian personal yang dapat menyatukan seluruh komponen kompetensi praktisi audit intern lainnya serta meneguhkan kemampuan auditor intern dalam menerapkan pengetahuan teknis dan kemudian mengomunikasikan hasilnya kepada para pemangku kepentingan (stakeholders).
Tiga keahlian urutan berikutnya yang terpilih sebagai preferensi para pimpinan eksekutif audit intern adalah kemampuan di bidang akuntansi, penjaminan manajemen risiko, dan teknologi informasi. Sementara itu, business acumen hanya menempati urutan kedelapan (dipilih oleh 27% responden). Dari data hasil survei ini sekaligus terungkap fakta bahwa penguasaan teknis operasi atau proses bisnis ternyata bukan merupakan keahlian yang paling utama dicari para pimpinan eksekutif audit intern.
Richard Chambers -presiden dan CEO IIA- nampaknya juga sepakat akan pentingnya kemampuan berpikir kritis dan berkomunikasi ini. Dalam bukunya berjudul Trusted Advisors, Chambers menciptakan bangunan struktur yang berisi tiga atribut keahlian (personal, relasional, dan profesional) yang perlu dikuasai oleh auditor intern agar dapat mencapai kesuksesan dan dipandang sebagai penasihat terpercaya. Masing-masing atribut tersebut terdiri dari beberapa unsur keahlian di dalamnya. Chambers menempatkan critical thinking sebagai salah satu unsur atribut keahlian profesional dan dynamic communication sebagai salah satu unsur atribut keahlian relasional. Jadi, Chambers memasukkan kemampuan berpikir kritis dan berkomunikasi sebagai keahlian penting yang perlu dipenuhi jika auditor intern ingin benar-benar menjadi trusted advisor.
Khusus terkait critical thinking, pada tahun 2014 KPMG -salah satu dari empat besar perusahaaan jasa profesional bidang akuntansi dan audit di dunia- menerbitkan sebuah tulisan yang membedah peran kemampuan berpikir kritis untuk mentransformasi fungsi audit intern. Tulisan tersebut berjudul Transforming Internal Audit Through Critical Thinking dan terbit sebagai respon hasil survei IIA Global tahun 2013.
KPMG menggambarkan model maturitas audit intern dalam sebuah piramid berisi tahapan yang perlu dilewati sebelum menjadi fungsi audit intern yang mampu berpikir kritis dalam memberi nilai tambah. Menurut model tersebut, berpikir kritis merupakan tahap pematangan yang sebelumnya didahului dengan pembangunan pondasi auditing skills; pemahaman terhadap proses, organisasi dan sistem; dan pengetahuan mendalam terhadap industri (bisnis organisasi). Saat telah mencapai tahap berpikir kritis, fungsi audit intern semestinya memiliki karakter budaya challenge, probing, dan continuous improvement yang telah melekat di dalamnya dan auditornya selalu fokus pada solusi; berpikir investigatif saat merancang skenario dan solusi; dan persisten dalam diskusi-diskusi penting. Adapun hal mendasar dari pendekatan berpikir kritis dalam audit intern menurut KPMG adalah open minded; situation analysis; provide context; brainstorm; dan conclude.
Tak lupa, KPMG juga menggarisbawahi beberapa manfaat mengintegrasikan pola berpikir kritis dalam proses audit intern, seperti:
- Keselarasan area audit dengan visi jangka panjang organisasi sehingga audit intern akan dipandang sebagai mitra bisnis yang berharga dan berpandangan ke depan.
- Perencanaan audit dengan mempertimbangkan berbagai level (fungsi, wilayah, teknologi, proses) sehingga lebih holistik.
- Hasil audit ditetapkan dan diukur dalam bentuk manfaat nyata (tangible value) bagi organisasi.
- Pemangku kepentingan akan sering meminta keterlibatan fungsi audit intern.
Dari beberapa penjelasan hasil survei dan tulisan di atas, kita bisa menarik benang merah betapa pentingnya kemampuan berpikir kritis dan berkomunikasi untuk dikuasai oleh para auditor intern.
Jika sebuah organisasi audit intern telah memiliki auditor-auditor yang hebat dalam penguasaan teknis operasi tapi hasil auditnya tidak dilirik oleh jajaran manajemen, jangan-jangan yang menjadi penyebabnya adalah kelemahan berpikir kritis dan berkomunikasi para auditornya.
Bagaimana caranya kita bisa tahu ada kelemahan auditor dalam berpikir kritis dan berkomunikasi? Salah satu cara paling mudahnya adalah dengan melihat laporan hasil audit intern, karena laporan tersebut merupakan jejak paling nyata mengenai cara auditor berpikir dan berkomunikasi. Laporan audit intern yang baik semestinya menggambarkan pola berpikir kritis auditor yang disajikan melalui bahasa tulis yang sistematis dan menarik. Hal itu dapat terlihat dari cara auditor mendeskripsikan masalah, mengungkap hal-hal yang tersembunyi, merangkai informasi yang awalnya terpisah, menggali akar sebab masalah, menganalisis dengan berbagai tools, mengevaluasi dengan berbagai perspektif, dan kemudian membangun rekomendasi secara logis. Jika porsi laporan audit lebih banyak didominasi oleh uraian kondisi masalah yang nampak di permukaan saja, itu bisa jadi merupakan indikasi lemahnya kemampuan berpikir kritis sang auditor.
Dari laporan audit intern juga bisa diperoleh indikasi lemahnya kemampuan komunikasi auditor. Jika Anda atau banyak orang tidak paham atau tidak tertarik untuk membaca sebuah laporan audit intern sampai tuntas, itu pertanda auditornya tak mampu menyajikan laporan dengan gaya yang menarik. Mungkin masih ada yang berkilah, “Mana bisa daftar masalah disajikan secara menarik?” Nyatanya saya menemukan contoh yang bisa. Saya banyak tertarik membaca laporan audit yang dihasilkan oleh ANAO (lembaga audit nasional pemerintah Australia) karena penyajiannya yang komunikatif. Bolehlah Anda sekali-sekali iseng membaca dari websitenya di www.anao.gov.au.
Sekali lagi, melihat laporan audit intern itu hanyalah pintu masuk untuk berkaca diri. Tentu saja, untuk membuktikan adanya kelemahan berpikir kritis dan berkomunikasi ini memerlukan kajian serius dari organisasi audit intern itu sendiri. Namun tak ada salahnya organisasi audit intern berbenah mulai dari dirinya sendiri sebelum membenahi unit lainnya. Sebab, cepat atau lambat gaung organisasi audit intern akan melemah jika ia tak kunjung berbenah. Penguatan kemampuan berpikir kritis dan berkomunikasi dapat menjadi alternatif pembenahan yang patut untuk dicoba. (hrs)
Referensi:- Chambers, R. (2017).Trusted Advisors. The Institute of Internal Auditors.
- IIARF. (2014). The Top 7 Skills CAEs Want. The Institute of Internal Auditors.
- KPMG. (1999). Transforming Internal Audit Through Critical Thinking. KPMG.