Dalam kisah mitologi Yunani, dikenal seorang dewi bernama Panacea. Dia adalah anak perempuan dari Asclepios dan juga cucu dari Dewa Apollo. Sang ayah, Asclepios, dikenal sebagai dewa pengobatan dan penyembuhan (God of Healing) dan digambarkan sebagai tongkat dan ular yang terjalin. Gambar tersebut kini banyak dipakai sebagai simbol dalam bidang kedokteran. Panacea memiliki dua saudara perempuan bernama Meditrina (medicine) dan Hygieia (hygiene), yang melambangkan kekuatan obat dan kebersihan. Panacea sendiri berarti dewi yang dapat menyembuhkan segala penyakit dan memperpanjang hidup tanpa batas. Panacea juga merupakan istilah sastra untuk mewakili setiap solusi guna menyelesaikan semua masalah. Karakteristik semacam Panacea itulah yang sering disematkan kepada sistem pengendalian intern. Betapa tingginya ekspektasi terhadap sistem pengendalian intern ini.
Pengendalian intern dianggap semacam sapu jagat yang mampu menyelesaikan segala persoalan. Akibatnya, jika terjadi masalah maka seringkali pengendalian intern menjadi kambing hitam. Di pemerintahan sering muncul komentar, "Opini BPK sudah WTP, pengendalian internnya dikatakan sudah memadai, tapi kenapa tiba-tiba pejabatnya tertangkap KPK? Buat apa ada pengendalian intern jika masalah tetap saja muncul?" Pertanyaan demikian menyiratkan seolah-olah ada atau tidak ada pengendalian intern hasilnya sama saja. Lalu muncul pemikiran bahwa pengendalian intern tidak perlu ada, terlebih jika hanya menambah beban kerja, waktu, dan biaya.
Pengendalian intern dianggap semacam sapu jagat yang mampu menyelesaikan segala persoalan. Akibatnya, jika terjadi masalah maka seringkali pengendalian intern menjadi kambing hitam. Di pemerintahan sering muncul komentar, "Opini BPK sudah WTP, pengendalian internnya dikatakan sudah memadai, tapi kenapa tiba-tiba pejabatnya tertangkap KPK? Buat apa ada pengendalian intern jika masalah tetap saja muncul?" Pertanyaan demikian menyiratkan seolah-olah ada atau tidak ada pengendalian intern hasilnya sama saja. Lalu muncul pemikiran bahwa pengendalian intern tidak perlu ada, terlebih jika hanya menambah beban kerja, waktu, dan biaya.
Jadi benarkah pengendalian intern tak diperlukan lagi? Coba renungkan dulu pertanyaan berikut, "Jika sudah dibentengi sedemikian rupa saja masih bisa jebol, bagaimana kalau tak ada benteng sama sekali?" Yah, kemungkinan besar masalah yang terjadi akan lebih dahsyat akibatnya! Celakanya, pentingnya pengendalian justru dirasakan saat kita telah mengalami sendiri kejadian-kejadian pahit dan ternyata pengendalian intern tidak dijalankan dengan baik. Misalnya saja, saat seseorang terjerat kasus hukum dan tidak ada bukti-bukti pekerjaannya telah diproses dan dikontrol dengan baik. Tapi apakah kita akan memilih demikian? Tentu saja tidak. Oleh karena itu, mau tidak mau kita masih bertumpu pada pengendalian intern.
Pepatah mengatakan, “Tiada gading yang tak retak.” Atau para tukang bangunan lebih suka berkata, “Tiada gedung yang tak retak.” Memang demikian faktanya, tidak ada sesuatu yang sempurna! Hal tersebut juga berlaku bagi sistem pengendalian intern. Perlu disadari bahwa sebaik apapun organisasi merancang suatu sistem pengendalian intern, kelemahan atau keterbatasan akan tetap ada. Artinya, sistem pengendalian intern tidak dapat menjamin 100% bahwa masalah tidak akan terjadi lagi. Ia bukan Panacea! Istilah menterengnya, pengendalian intern hanya memberikan keyakinan memadai (reasonable assurance) atas pencapaian tujuan organisasi. Meskipun demikian, keyakinan tersebut bukan berarti keyakinan yang seadanya tapi keyakinan yang tinggi!
Alasan Keterbatasan Pengendalian
Dikatakan bahwa pengendalian hanya memberi keyakinan memadai. Apa saja yang membuatnya tidak mampu memberikan jaminan mutlak? Ternyata memang ada keterbatasan yang melekat (inherent limitations) pada praktik pengendalian intern di lapangan. Berikut di antaranya:
- Pengendalian intern melibatkan proses pengambilan keputusan oleh manusia yang bisa saja salah pertimbangan. Suatu keputusan biasanya diambil berdasarkan pada berbagai pertimbangan seperti ketersediaan informasi, batasan waktu dan biaya, serta pengaruh variabel internal dan eksternal lainnya. Kejadian di lapangan tidak selalu dalam kondisi ideal. Kadang-kadang keputusan diambil dalam waktu yang sangat sempit, informasi yang tidak lengkap, atau variabelnya tidak jelas. Akibatnya bisa terjadi kesalahan atas keputusan yang sudah dipilih. Kompetensi dan pengalaman si pengambil keputusan akan sangat mempengaruhi kondisi seperti ini.
- Pengendalian intern tidak berfungsi karena ada gangguan (breakdown). Hal ini dapat terjadi ketika seseorang salah memahami instruksi atau berbuat keliru akibat kecerobohan, kebingungan, atau kelelahan. Perubahan susunan personil, atau perubahan sistem dan prosedur juga dapat berkontribusi pada terjadinya gangguan.
- Pengendalian intern tidak efektif karena ada kolusi. Kolusi terjadi manakala ada seseorang bersepakat dengan pihak lain untuk berbuat curang. Misalnya, petugas yang diberi tanggung jawab atas pengendalian penting justru bersekongkol dengan petugas lain, atau dengan pihak luar. Mereka dapat saja melakukan kecurangan sekaligus menutupinya sehingga tidak dapat dideteksi oleh pengendalian intern.
- Manajemen berpeluang mengesampingkan atau mengabaikan pengendalian intern. Kebijakan atau prosedur dapat diabaikan oleh manajemen untuk tujuan yang sifatnya menguntungkan pribadi atau merugikan organisasi. Tindakan tersebut bisa berupa manipulasi data/informasi, pemalsuan dokumen, pemanfaatan sumber daya organisasi secara ilegal, atau sekedar tidak menjalankan kebijakan dan prosedur yang ada dengan alasan tidak praktis.
- Perancangan pengendalian intern mempertimbangkan aspek biaya dan manfaat. Seperti konsep manajemen pada umumnya, pengendalian intern dirancang dengan pertimbangan manfaat yang diperoleh harus lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Kendalanya adalah manfaat pengendalian intern belum tentu bisa dirumuskan secara eksak, sehingga manajemen harus membuat estimasi kuantitatif dan kualitatif. Dalam kondisi dana yang terbatas, pengendalian yang ideal tidak dapat terpenuhi sehingga perlu disadari risiko-risiko yang mungkin muncul akibat pilihan tersebut.
Mengatasi Keterbatasan Pengendalian
Keterbatasan yang melekat pada pengendalian intern di atas tak bisa dihilangkan sama sekali. Bagaimana kondisi ini harus disikapi? Apa yang bisa dilakukan? Tentu tidak baik pula jika kita tak berbuat apapun. Langkah nyata yang bisa dilakukan adalah meminimalkan peluang terjadinya. Jika dikembalikan ke akar permasalahan, selain disebabkan oleh sumber daya, keterbatasan itu sebagian besar terjadi karena faktor manusia. Faktor "manusia" ini sepertinya perlu ditulis dengan huruf kapital, dicetak tebal berwarna merah dan diberi garis bawah. Penting sekali! Keputusan yang salah bisa terjadi karena manusia salah menentukan pilihan. Terjadi gangguan karena manusianya tidak paham, tidak cermat, atau tidak peduli. Kolusi muncul karena ada lebih dari satu manusia bersekongkol. Pengabaian terjadi karena pimpinan sebagai manusia tidak amanah. Demikian besarnya peran faktor manusia tersebut! Tatkala sumber daya lainnya sudah diberdayakan secara optimal, maka menjaga “manusia” menjadi poin penting untuk mencegah kegagalan pengendalian intern. Ibarat menunggang kuda, kita tidak perlu memasang alat kontrol yang berlebihan sepanjang penunggangnya ahli. Ahli dalam konteks pengendalian intern bisa dimaknai lebih luas sebagai berkompeten, berkomitmen, dan berintegritas.
Bagaimana cara menjaga agar manusianya tetap berkompeten, berkomitmen, dan berintegritas dalam menerapkan pengendalian intern? Sebenarnya resepnya sudah banyak ditulis dalam kerangka kerja pengendalian intern modern. Namun tak ada salahnya kita menilik ulang resep dimaksud. Beberapa di antaranya adalah set tone at the top, internalisasi secara konsisten, serta penguatan pemantauan dan perbaikan berkelanjutan.
Set tone at the top merupakan ungkapan klasik yang sering diucapkan para ahli di bidang pengendalian intern. Ungkapan tersebut menekankan pentingnya peranan pimpinan dalam mewarnai organisasi. Irama atau nada yang dipilih oleh pimpinan akan berpengaruh besar terhadap lagu dan kerja semua bawahannya. Manakala pimpinan menunjukkan irama kerja yang baik, maka bawahan akan mengikutinya. Demikian pula sebaliknya, pimpinan yang pola kerjanya buruk akan dicontoh oleh bawahannya. Itulah perwujudan set tone at the top. Dalam konteks pengendalian intern, pimpinan harus memberikan keteladanan dalam berintegritas, menerapkan gaya kepemimpinan yang menguatkan pengendalian intern, serta menetapkan tugas dan tanggung jawab secara jelas.
Di era jaman plesetan ini, ungkapan set tone at the top bisa diplesetkan menjadi satan at the top, seolah menggambarkan ada perilaku para pimpinan yang kurang pas. Bisa juga itu merupakan sindiran yang layak dijadikan bahan introspeksi, karena kadangkala atau bahkan seringkali terjadi kurangnya keteladanan para pimpinan organisasi. Selayaknya organisasi yang sehat tidak dipenuhi dengan nada yang sumbang, terutama dari pimpinannya.
Internalisasi adalah proses yang dijalankan agar pengendalian intern menjadi bagian dari kegiatan operasional sehari-hari dan ditaati oleh semua orang. Proses internalisasi harus mampu memberikan pengetahuan dan pemahaman yang memadai, membentuk komitmen, dan menggerakkan orang untuk menerapkan pengendalian. Sederhananya, orang harus memiliki pengetahuan yang cukup, kemauan yang kuat, dan bergerak melakukan tindakan nyata. Untuk memberikan pengetahuan dapat dilakukan melalui sosialisasi dan pelatihan secara formal maupun melalui inisiatif sendiri di tiap unit kerja. Untuk menambah pemahaman pentingnya pengendalian bisa dilakukan dengan membuat database kegagalan masa lalu dan menunjukkan sebab terjadinya kegagalan tersebut agar tidak terulang di masa yang akan datang. Komitmen bisa dibentuk melalui partisipasi aktif semua orang, pembimbingan dan konsultasi, serta pemberian penghargaan dan hukuman secara konsisten. Agar orang mau melakukan tindakan nyata maka diberi target, petunjuk, dan arahan yang jelas mengenai apa yang akan dicapai, kapan akan dicapai dan bagaimana cara mencapainya.
Resep lainnya adalah penguatan pemantauan dan perbaikan berkelanjutan. Penguatan pemantauan sangat penting karena dapat menjaga kepatuhan dan efektivitas pengendalian intern sepanjang waktu. Melalui pemantauan, setiap orang akan merasa bahwa apa yang dikerjakannya bisa dilihat dan dicek kapan saja, sehingga mereka berhati-hati melakukan pekerjaan serta patuh terhadap sistem dan prosedur yang ada. Pemantauan juga menjadi sarana untuk melakukan perbaikan terus-menerus sepanjang waktu sehingga pengendalian intern tetap efektif dan update sesuai dengan perkembangan lingkungan internal dan eksternal.
Tak Perlu Menunggu Sempurna
Seorang aktor kungfu legendaris Brucee Lee mengatakan, “Knowing is nothing, but applying what you know is everything.” Kita paham sepenuhnya bahwa pengendalian intern itu penting bagi organisasi. Pengendalian intern yang efektif akan lebih meyakinkan organisasi dalam mewujudkan tujuannya. Namun semua itu belum berarti apa-apa. Tindakan nyata kita untuk menjalankan pengendalian intern adalah jauh lebih berarti, karena tindakanlah yang akan mengantarkan kita menuju kesuksesan organisasi. Kita memang menyadari bahwa pengendalian memiliki keterbatasan-keterbatasan. Tapi hal itu tidak perlu menjadi penghalang. Kita tidak perlu menunggu sampai segala sesuatunya menjadi sempurna!
Comments